Barangkek πΆπ»ββοΈ
Barangkek. Dalam bahasa Minang barangkek artinya berangkat, pergi, meninggalkan sesuatu tempat menuju tempat lain. Amat dalam makna barangkek itu sebab tabiat orang Minang yang rela hilang kampung halaman demi merantau mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup.
Menjadi pertanyaan tersendiri olehku, adakah orang dahulu merasakan getirnya cinta sebagaimana orang zaman sekarang? Karena tak terbayang dulu orang mudahnya berpisah karena berjuang, berperang, kalau tidak dengan bangsa asing dengan bangsa sendiri, alat komunikasi sulit, perjalan pun panjang pula.
Lihatlah sekarang orang di sekeliling kita, entah dia orang Sulawesi atau orang Jawa sekali pun, bilamana terdengar kata Minang, langsung tersebut olehnya Oh, nenekku juga aslinya Minang, atau Oh, tanteku kemarin menikah dengan orang Minang.
Begitulah konon saat transportasi serba sulit saja orang Minang telah bercerai-berai ke penjuru negeri. Apatah lagi seperti sekarang zaman orang mudah sekali berpindah tempat. Mungkin pagi hari masih mandi di Yogya, terus hari siang sudah makan talua barendo di Pekanbaru.
Transportasi dan internet kian memangkas jarak, namun tak sedikit sebab itu jua banyak kita lihat orang bermusuh-musuhan lahir dan batin...
Tak jarang pula, bermusuh-musuhan itu terjadi karena alasan cinta.
Aih, mudahnya untuk mengaku mencintai. Terkadang atas nama cinta pun orang rela berdiam-diaman, bertengkar tidak bertegur sapa lagi, saling jauh-menjauhi. Memang benarlah kata Ibnul Qoyim, cinta itu akan berlainan maknanya tergantung orang yang merasakannya.
Ingatkah dulu sewaktu kita masih kecil, semasa belum mengenal pelik masalah kehidupan, betapa muluk kita bercita-cita. Ingin jadi tentara, jadi astronaut, jadi presiden. Demi ketika usia bertambah, tidaklah ada lagi yang tertinggal dari mimpi itu selain bisa tidur nyenyak, sholat tepat waktu, dan mati husnul khotimah. Itu saja sudah sangatlah lebih dari cukup.
Di Pariaman aku hanya menumpang lahir, sisanya umurku banyak habis di sebuah dusun kecil di pedalaman kampung Melayu. Ditumbuhkan dan dibesarkan dalam lingkung orang Melayu. Sehingga terkadang aku merasa lebih Melayu dari orang Melayu itu sendiri, seperti tiada Minang lagi pada gerak-gerik badanku.
Dalam perantauan ini tentu kita mengejar kesukaan dan kepercayaan orang. Karena bila orang telah suka dan percaya kita, di sanalah terbuka pintu-pintu rezeki, hikmah dari relasi dan kepercayaan.
Nyatanya, tidak semua kecintaan manusia bisa kita peroleh. Di mata yang salah, kita akan tetap senantiasa salah. Walau air mata telah menangis darah. Tiada akan mengubah apa-apa.
Oleh karenanya, pada waktu tertentu kita mesti berhenti dari sesuatu yang tak dapat lagi dipaksakan. Bila diteruskan juga justru semakin rusak. Bisa jadi bentuk solusi itu adalah dengan membiarkan masalah tersebut tetap ada. Hanya saja kita sulit mengetahui apa patokannya, sehingga kita bimbang dalam mengambil keputusan.
βDi mata orang yang salah, kau akan tetap salah. Berhentilah berusaha. Jangan memaksakan dirimu untuk orang yang tidak ditakdirkan buatmu. Sebaliknya, buatlah dirimu amat pantas untuk ditemukan oleh orang yang tepat.β
With π Selasa sore, 18 Juni 2024 @ Yogyakarta, Starbucks Malioboro.
Saya menyadari pastilah terdapat kekurangan dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran sila disampaikan ke Mardanafin.
