Hari ke-68
Mari lupakan saja, dan kerjakan apa yang semestinya dikerjakan.
Pagi hari Senin pukul 6:19, apa yang kau pikirkan?
Tidak ada. Pikiranku kosong, tidak punya harapan tertentu, tidak ada target tertentu, tidak ada keinginan tertentu. Semua biasa saja, datar, dan kosong.
Kalau begitu untuk apa kau hidup?
Entahlah. Aku juga tidak tahu untuk apa aku hidup. Aku pernah menyakiti seseorang, yang hingga sekarang belum mendapat maaf. Aku pernah mengecewakan, yang hingga sekarang belum terbayar.
Semakin lama aku memikirkan ini, semakin membuatku tambah buruk. Mari lupakan saja, dan kerjakan apa yang semestinya dikerjakan.
“Selama 10 hari ke belakang, aku hanya mampu membuat 4 latihan ilustrasi. Semoga 10 hari berikutnya, aku bisa membuat lebih.”
Kalau ditanya apa harapanku, itulah jawabannya. Impian yang kecil, sepele, dan tidak punya urgensi. Kau tahu, aku tidak pernah punya impian besar, karena dahulu sering terjadi impian-impian besarku dipatahkan oleh orang terdekatku sendiri.
Aku tidak mau menyalahkan orang lain. Karena ujung-ujungnya, pasti salahnya adalah ke diriku sendiri. Mau sebesar apa pun aku tidak setuju, memang mau tidak mau harus akulah yang salah. Karena, yang menjalani takdir hidupku ini adalah aku, bukan orang lain.
Kamu tidak punya cita-cita, karena dari kecil cita-citamu selalu tidak disetujui. Hingga sampai kau besar, hidupmu hanya mengikut apa kata orang. Kalau tidak mengikut kata orang, ya, pasti mengikut apa kata nasib. Intinya tidak ada yang benar-benar darimu.
Sampai kau menjadi tidak punya identitas yang menunjukkan siapa dirimu. Sebab segala keputusan yang kau buat adalah untuk diterima orang. Kau sebetulnya tidak mau begitu, tetapi keadaanlah yang memaksamu berbuat seperti itu. Bahkan sampai sekarang pun kau tidak setuju, namun kau tidak bisa melakukan apa pun untuk melawan.
Karena kau tidak akan pernah bisa melawan, kau hanya bisa menerima. Dan menerima itulah yang paling sulit bagimu.
