Menunggu
Seorang pebisnis, lebih-lebih investor, memang menuntut pelakunya untuk menjadi manusia yang “hebat”.
Menunggu. Apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata “menunggu”? Aku, tidak ada. Untuk apa memikirkan kata “menunggu”, seperti tidak punya kerja saja.
Ya, memang, aku memulai menulis siang ini dalam keadaan sedang menunggu. Ada sesuatu yang harus aku beli untuk kebutuhan kantor, sebelum membelinya aku harus memastikan sesuatu.
///Hari ini tanggal 1 ya, awal yang penuh harapan. Aku menulis ini sambil mendengar podcast Rianto Astono tentang “Jangan Fokus”. Kalian bisa mencarinya di YouTube.
Pada bulan baru ini sempat terpikirkan olehku untuk keluar dari rutinitas pekerjaan ini. Dengan harapan supaya bisa lebih fokus di satu tempat. Namun ini hanya sebatas rencana, entah akan terealisasi atau tidak.
Sambil menulis ini pun aku sebenarnya sedang menunggu juga. Menunggu sampai tulisanku cukup sekitar 2200 kata. Aku menulis ini di situs flocked.app yang bisa menampilkan secara langsung sudah berapa kata yang aku tulis.
Oh ya, berbicara soal flocked.app, situs ini sangat memudahkan kita menulis caption Instagram. Ketika kita menekan enter, dia akan otomatis sesuai dengan sistem caption di Instagram sehingga tulisan kita akan rapi tertulis di bawah foto yang kita upload.
///Akhir-akhir ini aku suka mendengar podcast Rianto Astono. Tidak hanya podcast, semua konten yang dia buat di media. Agak negatif kalau dikatakan “konten”, karena lebih tepatnya disebut “karya”. Pembahasan yang selalu dia bahas selalu berhubungan dengan hal-hal yang aku butuhkan setiap hari.
Dia membahas sesuatu tentang “menjadi dewasa” atau “menjadi manusia”. Latar belakang pengalamannya sepertinya adalah bisnis dan investasi. Tidak heran, sesuai dengan yang sering dia buat atau tulis di media, seorang pebisnis, lebih-lebih investor, memang menuntut pelakunya untuk menjadi manusia yang “hebat”.
Lebih personal lagi, alasan aku suka adalah dia tidak pernah menunjukkan wajahnya di YouTube dan Instagram. Sepertinya juga begitu di media sosial lain, aku tidak tahu. Aku selalu suka dengan orang-orang yang tidak begitu berselera menunjukkan fisiknya di media sosial, terutama wajah. Lantas lebih mementingkan sesuatu yang esensial, yaitu “isi kepala”.
Begitupulalah yang berusaha aku wujudkan di media sosialku. Ya, memang, aku memasang foto profil diriku sendiri, tetapi tidak dengan isi konten atau karya yang aku kerjakan. Tidak, tidak cocok dibilang “karya”, melainkan hanya serangkaian “coba-coba”. Terkhusus instagram, adalah tempat aku mengunggah semua “coba-coba” yang aku buat.
///Tulisan ke-60
