Webinar Gratis
Bagaimana jika kita yang dapat menciptakan aplikasi itu. Tidak melulu jadi konsumen saja, menjadi budak-budak algoritma.
Saya merasa pembicara di webinar gratis itu kebanyakan bicara saja. Apalagi webinar bisnis digital. Suara mereka lantang-lantang, membuat saya bingung apa poin penting yang mereka sampaikan itu.
Saya agak sedih ketika mengikuti webinar bisnis digital. Yaitu ketika saya menyadari, ujung-ujungnya pasti kita ke Facebook, Instagram, Tiktok, YouTube, dan yang serupa dengan itu. Sepanjang apa pun pembahasan, pasti ujung-ujungnya ke situ. (Bisa juga bikin web sendiri)
Apa yang membuat saya sedih? Yaitu saya sadar, kita ini hanya konsumen. Sedangkan pembuat-pembuat aplikasi itulah sang penguasa. Saya kerap membayangkan bagaimana jika kita yang dapat menciptakan aplikasi itu. Tidak melulu jadi konsumen saja, menjadi budak-budak algoritma.
Saya sudah lama mengenal bisnis digital ini, setidaknya sudah tidak asing di telinga saya. Namun, saya semakin bosan. Pembahasannya itu-itu saja. Pertama kali saya mengenal kata “Digital Marketing” itu dari Dewa Eka Prayoga di Instagram. Kemudian saya pun membaca blognya. Dan saya juga sempat membeli buku karya Denny Santoso, membaca blog Rico Huang, dan berbagai sumber lain.
Namun sebelum saya bicara panjang lebar, saya perlu mengakui dulu, bahwa sampai saat menulis ini, saya belum pernah mengamalkan apa yang diajarkan dalam ilmu-ilmu bisnis digital tersebut. Ini saya akui adalah kesalahan saya, karena memang saya yang sengaja memilih untuk tidak melakukannya.
Saya adalah tipe orang yang ga suka dikenal. Jadi, ketika orang yang kita panggil “coach” itu berkata, “Buat feedmu semenarik mungkin! Ganti foto profilmu! Buat highlight!” justru saya tidak suka hal-hal seperti itu. Apa salahnya saya mengosongkan bio saya? apa salahnya feed saya berantakan? dan apa salahnya foto profil saya cuma selfie biasa tanpa filter?
Saya maklum, memang kata-kata orang yang kita panggil “coach” itu ditujukan untuk orang yang mau “menjual”. Jadi selama saya tidak ingin jualan, maka semua nasehat orang yang kita panggil “coach” itu tidak bermanfaat buat saya. Karena toh media sosial saya, saya gunakan untuk being my own self, menjadi diri sendiri.
Sebelum ada yang tersinggung dengan tulisan saya ini, ada baiknya saya jelaskan dulu duduk perkara kenapa saya menulis ini. Yaitu hanya karena keresahan. Saya risau dan merasa kerisauan ini setidaknya harus tertuang dalam tulisan. Bahkan saya tidak peduli akan ada yang membaca ini atau tidak.
Baik, kita lanjutkan pembahasan yang tadi. Keresahan saya yang lain adalah ketika melihat orang-orang yang terlihat sudah “mengaji” namun justru menjadi kelompok yang paling keranjingan bermain media sosial. Mungkin ini hanya akibat algoritma, sehingga banyak konten yang tertampil di layar saya adalah orang-orang yang sudah “mengaji”, sampai-sampai saya nyeletuk “Ini akhi-akhi kok pada candu banget ya sama cuan-cuan.”
Saya merasa kegiatan bisnis digital ini lebih banyak orang yang latah saja. Latah dalam artian yaitu hanya ikut-ikutan hype saja, namun tidak tahu apa yang sedang dibahas dan apa yang ingin dituju. Cuma panas di awal, berebut ingin punya “Coach” masing-masing.
Oke, mungkin saya terlalu banyak bicara untuk hal yang tidak pernah saya lakukan. Buktinya, hingga kini saya tidak pernah menjual satu barang pun. Namun entah kenapa jari saya ini merasa tergelitik untuk memberi komentar. Entah kenapa ada sisi lain di hati saya yang mengatakan ada yang salah dengan cara orang-orang ini.
Saya tidak masalah dengan orang-orang yang bersebarangan pandangan dengan saya. Silakan saja melakukan apa yang kalian yakini. Saya di sini hanya sebagai orang nyinyir yang ingin sumbatan-sumbatan yang ada di kepalanya terbebas dari keresahan.
Saya sangat geli melihat judul-judul “Cara mendapat 1000 follower dalam sehari!”. Ini kenapa sih orang-orang pada butuh banget follower. Iya oke, saya bicara begini sedangkan follower instagram saya tidak sampai 200. Kalian boleh bilang “Julit tanda tak mampu”.
Bagi saya bukan perkara mampu tidak mampu, melainkan perkara “mental” yang disiapkan untuk mendapat follower tersebut. Banyak orang viral, dalam waktu singkat mendapat banyak mata. Namun justru dia merasa terbanting dengan kenyataan “what next?”. Terus setelah itu apa? dia tidak siap menerima perhatian sebanyak itu, yang akhirnya menjadi sia-sia.
Yang namanya viral kan pasti akan kedaluarsa. Jadi menurut saya, seharusnya bukan soal “Bagaimana cara mendapat 1000 follower dalam sehari” melainkan yang lebih esensial dari itu, misalnya seperti “Bagaimana menciptakan persona media sosial yang berjangka panjang”.
Lihatlah Raditya Dika, bagi saya pribadi, contoh ideal pengguna media sosial adalah Raditya Dika. Dia bisa menjadi seorang yang berkarakter, mudah berada di top mind para pengguna media sosial sejak berawal dari blog, twitter, sebelum kemudian merambah ke instagram dan menjadi youtuber yang bahas anaknya mandi bermain air.
Dan saya yakin tidak pernah terbesit di kepala Radit untuk mendapat 1000 follower dalam sehari. Secara paradoks, dengan kesederhanannya, justru dia mendapat yang lebih banyak dari itu.
Banyak contoh tokoh lain yang bagi saya paling ideal di media sosial. Seperti Arif Muhammad (Pocong), Bena Kribo, Deddy Corbuzier, David GadgetIn, Eno Bening, Nessie, Aulion dan masih banyak lagi.
Seharusnya kita banyak mengambil contoh dari mereka, bukan dari orang-orang kemarin sore yang bilang cara cepat mendapat 1000 follower.
Terakhir saya ingin bertanya, apakah digital marketing itu membuat kita secara tidak langsung menjadi konsumen aktif sosial media? seperti kita harus selalu mengikuti algoritma, cara kerja aplikasi, dan pada akhirnya bergantung dengan aplikasi tersebut ?
